style="display:block"
data-ad-client="ca-pub-4079355875532026"
data-ad-slot="9416387227"
data-ad-format="auto">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Biografi Chairil Anwar
Chairil Anwar, adalah seorang penyair tersohor di bumi Nusantara ini. Beliau lahir di Kota Medan, pada tanggal 26 Juli 1922 dan meninggal di usia yang masih terbilang cukup muda, yaitu 26 tahun, pada tanggal 28 April 1949 di Jakarta.
Beliau memiliki julukan sebagai “Si Binatang Jalang”. Beliau menekuni dunia sastra, hingga tercipta sebanyak 96 karya, termasuk 70 puisi. Puisi pertamanya dipublikasi pada tahun 1942, 2 tahun setelah beliau pindah dari Medan ke Jakarta.
Banyak berbagai tema karya sastra puisi yang beliau tulis, di antaranya menyangkut pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, dan multi-intepretasi.
Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar
Puisi Chairil Anwar ‘Aku’
Aku
Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi Chairil Anwar ‘Aku Berkaca’
AKU BERKACA
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Ku dengar seru menderu
Dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?
Lagi lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah..!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak ku kenal..!!!
Selamat tinggal…!!
Puisi Chairil Anwar ‘Diponegoro’
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Puisi Chairil Anwar ‘Doa’
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Puisi Chairil Anwar ‘Krawang-Bekasi’
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan ati 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,
atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenang lah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenang lah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Puisi Chairil Anwar ‘Maju’
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Puisi Chairil Anwar ‘Yang Terampas dan Yang Putus’
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
Menggigir juga ruang di mana dia yang ku ingin
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
Dan aku bis lagi lepaskan kisah baru padamu
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku
Puisi Chairil Anwar ‘Hampa’
HAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
Puisi Chairil Anwar ‘Senja di Pelabuhan Kecil’
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali.
Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam
Ada juga kelepak elang menyinggung muram
Desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan
Tidak bergerak dan kini tanah air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendirian.
Berjalan menyisir semenanjung
Masih pengap harap
Sekali tiba di ujung
Dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat
Sedu penghabisan bisa terdekap
Puisi Chairil Anwar ‘Kepada Kawan’
KEPADA KAWAN
Sebelum ajal mendekat dan menghianat
Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat
Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa
Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada
Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam
Layar merah berkibar hilang dalam kelam
Kawan, mari kita putuskan kini di sini
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju
Jangan tembatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat
Tidak minta ampun atas segala dosa
Tidak memberi pamit siapa saja
Jadi
Mari kita putuskan sekali lagi
Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi
Sekali lagi kawan, sebaris lagi
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu..!!
Puisi Chairil Anwar ‘Cerita Buat Dien Tamaela’
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa, pohon pala,
Badan perawan jadi hidup sampai pagi tiba
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Puisi Chairil Anwar ‘Persetujuan Dengan Bung Karno’
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicara mu
Dipanggang di atas api mu
Digarami lautmu dari mulai tanggal 17 Agusutus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api, Aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zat mu, di zat ku kapal-kapakl kita berlayar
Di urat mu, di urat ku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh
Puisi Chairil Anwar ‘Sebuah Kamar’
SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia
Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu
Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu
Ibuku tertidur dalam tersedu
Keramaian penjara sepi selalu
Bapak ku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu
Sekeliling dunia bunuh diri
Aku minta adik lagi pada Ibu dan Bapak ku
Karena mereka berada di luar hitungan
Kamar begini 3 x 4 terlalu sempit buat meniup nyawa
Puisi Chairil Anwar ‘Rumahku’
RUMAHKU
Rumah ku dari unggun timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Ku lari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah ku dirikan ketika senja kala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumah ku dari unggun timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi
Tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar