Ketua Badan Penjaminan Mutu UNISDA Lamongan dan Founder GuruHebat
Di masa depan keberlangsungan, kebergunaan dan kebermaknaan pendidikan kita akan ditentukan oleh kemampuannya serta fleksibelitas kiya dalam merespons hal-hal yang tak terduga. Pandemi Covid-19 salah satunya. Kurikulum 2013 misalnya tidak dirumuskan untuk menghadapi pandemi Covid-19 di tahun 2020. Diskusi di banyak tempat selama ini justru banyak berimajinasi mengenai “Generasi emas 2045”.
Saya sering bilang ke teman-teman mahasiswa di kelas, bahwa imajinasi tersebut didasarkan pada prediksi. Akurasi prediksi ditentukan oleh data awal yang diterima dengan ramalan akan naik atau turun. Konyolnya selalu saja diprediksi akan naik, membaik, meningkat, dst. Harapan ini hampir selalu ada di semua ilmu manajemen modern, termasuk manajemen pendidikan persekolahan. Nah, imajinasi 2045 bisa bubar seketika kala ada bencana tak terduga, dan pendidikan kita tak siap untuk itu.
Kita butuh kurikulum yang fleksibel, kita butuh skenario pembelajaran (silabus, lesson plan) yang fleksibel, multi-skenario pembelajaran, kita butuh pedagogi yang fleksibel, sejenis multimodal pedagogy atau apapaun namanya itu, kita butuh assessment yang juga fleksibel dengan tanpa mengurangi kualitas, agar di saat-saat tertentu ketika muncul hal-hal tak terduga yang tak terprediksi (bencana, konflik, riots), pendidikan akan tetap berlangsung. Tentu saja dengan tetap harus mengutamakan manusia di atas kurikulum, metode, media, dan teknis assessment apapun itu.
Ya, pendidikan yang telanjur menjadi birokrasi gemuk dengan mata rantai komunikasi dan koordinasi yang teramat panjang dan tidak efektif. Seperti sekarang, sekolah-sekolah, guru-guru, dan bahkan kampus kelimpungan menjalankan pembelajaran jarak jauh alias dalam jaringan (daring). Banyak yang lamban bergerak karena menunggu instruksi Pusat, menunggu surat edaran Dinas, dan lainnya. Beruntung embrio pembelajaran berjejaring dan personal sudah dikenalkan sejak kira-kira 10 tahun terakhir.
Pembelajaran daring bertujuan untuk memudahkan aktivitas belajar. Caranya dengan menyediakan banyak sumber belajar yang mudah diakses, pembelajaran yang fleksibel metode, tempat, dan waktunya bisa sepenuhnya daring, bisa kombinasi daring dan luar jaringan (luring)—tatap muka fisik konvensional.
Prinsip pembelajaran Daring yang pertama, Pembelajaran daring jangan sampai menambah beban guru dan siswa, karena tujuannya untuk memudahkan belajar Jika menambah beban, pasti ada yang Bisa karena sarana tidak siap, bisa karena materi tidak siap Jika sarana tidak siap, jangan paksa untuk belajar daring, yang kedua beri tugas belajar sewajarnya dengan instruksi yang jelas dan sesuai tujuan belajar. Oleh karena itu perlu: berupaya untuk selalu berkomunikasi dengan mahasiswa di dalam sistem beri stimulus yang baik, beri respons, dan buka ruang berdialog secara demokratis, jika perlu boleh diselingi humor tiap tugas harus ada balikan (feed back), beri instruksi yang jelas, memberikan balikan dan bimbingan dan jika siswa masih belum paham, jelaskan ulang secara dialogis-Humanis prinsip yang ketiga untuk waktu yang mendesak manfaatkan berbagai sumber yang tersedia di dunia maya, untuk jangka oanjang perlu ada tim tersendiri disekolah atau kampus yang mendukung.
Prinsip yang keempat yaitu fleksibel metode pembelajaran artinya menyesuaikan karakteristik konten dan siswa, fleksibel tempat artinya dapat berlangsung tidak harus dikelas konvensional atau fisik, boleh dirumah kost dan lainya, flesibel waktu artinya tidak harus tepat waktu seperti pertemuan tatap muka dikelas biasanya pembelajaran daring waktunya lebih lama dan tidak harus saat itu juga (syncrounus, ansycrounus): video call, webinar, teleconference, zoom, forum diskusi, email, instan messengging dll. Prinsip yang kelima yaitu pembelajaran daring merupakan bentuk personalisasi pembelajaran, untuk itu perlunya kesadaran serius belajar dari siswa perlu diimbangi dengan guru untuk mengontrol pembelajaran secara berkala caranya dengan memberikan stimulus – respon kepada siswa.
Saya sering bilang ke teman-teman mahasiswa di kelas, bahwa imajinasi tersebut didasarkan pada prediksi. Akurasi prediksi ditentukan oleh data awal yang diterima dengan ramalan akan naik atau turun. Konyolnya selalu saja diprediksi akan naik, membaik, meningkat, dst. Harapan ini hampir selalu ada di semua ilmu manajemen modern, termasuk manajemen pendidikan persekolahan. Nah, imajinasi 2045 bisa bubar seketika kala ada bencana tak terduga, dan pendidikan kita tak siap untuk itu.
Kita butuh kurikulum yang fleksibel, kita butuh skenario pembelajaran (silabus, lesson plan) yang fleksibel, multi-skenario pembelajaran, kita butuh pedagogi yang fleksibel, sejenis multimodal pedagogy atau apapaun namanya itu, kita butuh assessment yang juga fleksibel dengan tanpa mengurangi kualitas, agar di saat-saat tertentu ketika muncul hal-hal tak terduga yang tak terprediksi (bencana, konflik, riots), pendidikan akan tetap berlangsung. Tentu saja dengan tetap harus mengutamakan manusia di atas kurikulum, metode, media, dan teknis assessment apapun itu.
Ya, pendidikan yang telanjur menjadi birokrasi gemuk dengan mata rantai komunikasi dan koordinasi yang teramat panjang dan tidak efektif. Seperti sekarang, sekolah-sekolah, guru-guru, dan bahkan kampus kelimpungan menjalankan pembelajaran jarak jauh alias dalam jaringan (daring). Banyak yang lamban bergerak karena menunggu instruksi Pusat, menunggu surat edaran Dinas, dan lainnya. Beruntung embrio pembelajaran berjejaring dan personal sudah dikenalkan sejak kira-kira 10 tahun terakhir.
Pembelajaran daring bertujuan untuk memudahkan aktivitas belajar. Caranya dengan menyediakan banyak sumber belajar yang mudah diakses, pembelajaran yang fleksibel metode, tempat, dan waktunya bisa sepenuhnya daring, bisa kombinasi daring dan luar jaringan (luring)—tatap muka fisik konvensional.
Prinsip pembelajaran Daring yang pertama, Pembelajaran daring jangan sampai menambah beban guru dan siswa, karena tujuannya untuk memudahkan belajar Jika menambah beban, pasti ada yang Bisa karena sarana tidak siap, bisa karena materi tidak siap Jika sarana tidak siap, jangan paksa untuk belajar daring, yang kedua beri tugas belajar sewajarnya dengan instruksi yang jelas dan sesuai tujuan belajar. Oleh karena itu perlu: berupaya untuk selalu berkomunikasi dengan mahasiswa di dalam sistem beri stimulus yang baik, beri respons, dan buka ruang berdialog secara demokratis, jika perlu boleh diselingi humor tiap tugas harus ada balikan (feed back), beri instruksi yang jelas, memberikan balikan dan bimbingan dan jika siswa masih belum paham, jelaskan ulang secara dialogis-Humanis prinsip yang ketiga untuk waktu yang mendesak manfaatkan berbagai sumber yang tersedia di dunia maya, untuk jangka oanjang perlu ada tim tersendiri disekolah atau kampus yang mendukung.
Prinsip yang keempat yaitu fleksibel metode pembelajaran artinya menyesuaikan karakteristik konten dan siswa, fleksibel tempat artinya dapat berlangsung tidak harus dikelas konvensional atau fisik, boleh dirumah kost dan lainya, flesibel waktu artinya tidak harus tepat waktu seperti pertemuan tatap muka dikelas biasanya pembelajaran daring waktunya lebih lama dan tidak harus saat itu juga (syncrounus, ansycrounus): video call, webinar, teleconference, zoom, forum diskusi, email, instan messengging dll. Prinsip yang kelima yaitu pembelajaran daring merupakan bentuk personalisasi pembelajaran, untuk itu perlunya kesadaran serius belajar dari siswa perlu diimbangi dengan guru untuk mengontrol pembelajaran secara berkala caranya dengan memberikan stimulus – respon kepada siswa.
Tak ada yang dapat memprediksi masa depan dengan tepat, terutama ketika faktor-faktor adi-manusia muncul. Dulu Mochtar Buchori kira-kira tahun 2002 menerbitkan buku “Pendidikan Antisipatoris”, namun perspektif antisipatoris yang dibawa untuk dapat mengantisipasi masa depan tampaknya juga belum memperhitungkan variabel hal yang tak terprediksi dan bagaimana pendidikan mesti bersikap. Tahun 2010-an hingga 2019 kemarin ketika gegap gempita revolusi industri 4.0, era disrupsi, pemerintah mengarahkan pendidikan untuk membekali diri dengan literasi teknologi dan sejenisnya, tapi semua itu masih didasarkan pada data dan fakta yang ada dan tampak.
Munculnya Covid-19 tak ada dalam perhitungan, yang hanya dalam hitungan hari mampu memaksa jutaan siswa dan guru, mahasiswa dan dosen, harus menjalankan pembelajarannya dengan berbasis internet–atau moda pendidikan jarak jauh lain bagi yang infrastrukturnya belum terpenuhi.
Agaknya, tak ada jalan lain pendidikan pasca-pandemi Covid-19 haruslah pendidikan yang tak berskenario tunggal, haruslah pendidikan yang fleksibel, responsif, kontekstual, Tentu bagi para pengkaji teknologi pendidikan, terutama yang update teori-teori dan perspektif pendidikan postmodern, kata-kata itu sudah menjamur sejak lama. Namun sampai kemarin (2019) saja terutama institusi pendidikan formal negeri tak ada yang berani fleksibel dalam pembelajarannya. Semua harus terencana (by objective), terukur, tersistem, terstandar, dari awal proses hingga akhir.
Bagaimana cara mengubah agar pembelajaran di kelas—sekolah formal dan kampus formal—dapat lebih manusiawi, tidak membebani siswa/mahasiswa—karena harus beradaptasi dengan pandemi Covid-19, namun tetap tidak melencengkan tujuan pembelajaran, tidak juga menurunkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar.
Dalam rangka menghambat penyebaran COVID-19 pemerintah telah menganjurkan agar pembelajaran di sekolah-sekolah dilaksanakan secara online atau dalam jaringan (daring)—berkebalikan dengan pembelajaran di luar jaringan (luring)—tatap muka fisik di kelas konvensional. Banyak yang heboh, baik guru, siswa, maupun orangtua soal ini. Berkaitan dengan itu, maka melalui tulisan ini saya akan memberikan gambaran dasar mengenai bagaimana sebaiknya dan tepatnya pembelajaran daring dilaksanakan sekarang. Dalam ringkasan memahami pembelajaran daring ini media atau platform yang dimaksud lebih yang dalam bentuk Learning Management System (LMS) atau Virtual Learning Environment (VLE) seperti Moodle, Edmodo, dan sejenisnya.
Apa yang harus kita lakukan?
Munculnya Covid-19 tak ada dalam perhitungan, yang hanya dalam hitungan hari mampu memaksa jutaan siswa dan guru, mahasiswa dan dosen, harus menjalankan pembelajarannya dengan berbasis internet–atau moda pendidikan jarak jauh lain bagi yang infrastrukturnya belum terpenuhi.
Agaknya, tak ada jalan lain pendidikan pasca-pandemi Covid-19 haruslah pendidikan yang tak berskenario tunggal, haruslah pendidikan yang fleksibel, responsif, kontekstual, Tentu bagi para pengkaji teknologi pendidikan, terutama yang update teori-teori dan perspektif pendidikan postmodern, kata-kata itu sudah menjamur sejak lama. Namun sampai kemarin (2019) saja terutama institusi pendidikan formal negeri tak ada yang berani fleksibel dalam pembelajarannya. Semua harus terencana (by objective), terukur, tersistem, terstandar, dari awal proses hingga akhir.
Bagaimana cara mengubah agar pembelajaran di kelas—sekolah formal dan kampus formal—dapat lebih manusiawi, tidak membebani siswa/mahasiswa—karena harus beradaptasi dengan pandemi Covid-19, namun tetap tidak melencengkan tujuan pembelajaran, tidak juga menurunkan kualitas pembelajaran dan hasil belajar.
Dalam rangka menghambat penyebaran COVID-19 pemerintah telah menganjurkan agar pembelajaran di sekolah-sekolah dilaksanakan secara online atau dalam jaringan (daring)—berkebalikan dengan pembelajaran di luar jaringan (luring)—tatap muka fisik di kelas konvensional. Banyak yang heboh, baik guru, siswa, maupun orangtua soal ini. Berkaitan dengan itu, maka melalui tulisan ini saya akan memberikan gambaran dasar mengenai bagaimana sebaiknya dan tepatnya pembelajaran daring dilaksanakan sekarang. Dalam ringkasan memahami pembelajaran daring ini media atau platform yang dimaksud lebih yang dalam bentuk Learning Management System (LMS) atau Virtual Learning Environment (VLE) seperti Moodle, Edmodo, dan sejenisnya.
Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, perpanjang masa pengerjaan tugas. Hal ini penting, mengingat siswa perlu beradaptasi dengan ritme belajar baru, juga cara belajar baru yang lebih menekankan pada kemandirian belajar. Kondisi pandemi, harus melakukan physical distance, tentu membuahkan tekanan, kebosanan, dan ritme hidup baru. Namun, belajar jarak jauh—termasuk daring di dalamnya—juga tidak mungkin tanpa memberi tugas sama sekali. Karena dari tugas itulah guru tahu capaian hasil belajar siswanya.
Kedua, fokus pada unjuk kerja (kinerja) atau produk yang menjadi ukuran dari keberhasilan capaian belajar siswa. Tidak perlu mengontrol ketat pemahaman per sub-bahasan, karena akan cenderung memberi tugas berlebih—dan ini yang rata-rata terjadi di banyak sekolah sekarang. Kalau tujuan pembelajarannya berupa pemahaman, cukup diberikan 1 atau 2 tugas terkait dengan tujuan tersebut. Tujuan pembelaran di sini maksudnya tujuan pembelajaran dalam 1 semester, bukan 1 pertemuan/topik. Tidak perlu rinci. Tinggal guru memastikan pemahamannya tepat dengan eksplorasi tugas tersebut saja.
Ketiga, pegang kompetensi inti (KI) saja, tidak perlu kompetensi dasar (KD). Di semua sekolah yang menjalankan Kurikulum 2013 sekarang yang dipegang adalah KD. Nah, KD ada banyak dan merupakan penjabaran dari KI. Berpegang pada KD akan cenderung memaksa guru untuk memberikan banyak pelajaran secara detail, padahal sejatinya KI yang dituju cukup padat dan ringkas. Nah, KI ini saja yang dipegang hingga nanti pembelajarannya tidak akan “terlalu rinci dan detail” sebagaimana sekarang ketika memegang ketat KD. Dengan berpegang pada KI saja, materi lebih ringkas, pembelajaran dapat dirancang ulang lebih ringkas/sederhana tapi tetap sesuai KI. Akhirnya tugas juga ringkas. Penilaian seperti di point nomor 2, fokus saja pada kinerja dan produk.
Sayang rumusan KI dalam Kurikulum 2013 terlalu abstrak. Hingga guru pasti kesulitan ketika hanya memegang KI sebagai acuan merumuskan pembelajaran. Oleh karena itu, baca ulang KD-KD (lihat di Permendikbud No. 24/2016) sesuai mata pelajaran dan jenjang masing-masing. Buat list/daftar inti-inti kompetensi yang hendak dipakai apa, dan daftar ini jadikan sebagai acuan merancang ulang pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Jika daftar inti-inti kompetensi hasil pembacaan atas KD-KD ini concise betul (ringkas), maka sejatinya inilah KI yang sebetulnya.
Dengan melakukan beberapa tips ringkas di masa darurat pandemi Covid-19 tersebut, maka pembelajaran akan langsung pada intinya saja (karena berpegang pada KI-nya, KI singkatan dari kompetensi inti), tidak terlalu banyak kembangan atau bertele-tele harus mengerjakan tugas yang berseri-seri banyaknya, penilaian juga akan langsung fokus pada menilai kompetensi apa yang hendak dicapai. Pembelajaran yang ringkas, langsung pada intinya (right to the point, to the core competencies), tugas yang langsung ke inti kompetensi apa yang hendak dicapai, akan memudahkan guru, siswa, dan orang tua di saat-saat darurat sekarang ini.
Sejatinya, arah pembelajaran yang langsung to the point (intinya mau bisa apa ini), tanpa melakukan pembelajaran yang bertele-tele dan buang-buang waktu—sementara di keseharian siswa, guru, dan orang tua sedang menghadapi pandemi Covid-19, merupakan pengingat pada hal paling fundamental dalam pendidikan, yakni: tujuan pendidikan, tujuan belajar. Hal ini di era digital sekarang tampaknya mulai disadari dan banyak yang berani melakukan. Misal, mau bisa masak, tinggal ikut kursus masak, jika bisa daring ya ikut daring saja, lebih ringkas, mudah, murah. Tak perlu sekolah tata boga atau kuliah tata boga, yang lama waktunya, bayarnya juga lumayan.
Tujuan inti pendidikan, tujuan inti belajar ini yang harus disadari dan dipegang oleh guru/dosen. Karena akan sangat mencerahkan dan menyadarkan bahwa sejatinya barangkali strategi pembelajaran kita tak perlu bertele-tele dan berseri-seri banyaknya. Ini tantangan bagi sekolah dan kampus formal kita sekarang. Bisakah bertahan di tengah lahirnya pusat-pusat belajar baru dalam bentuk MOOCs (misal Coursera, Alison, EdX, Icourse, Future Learn), komunitas belajar, homeschooling, atau bahkan channel-channel YouTube, instagram, twitter, WA, dan Facebook.
Semoga bencana ini segera berlalu dan generasi penerus bangsa bisa menimkati bangku sekolah kembali. Bercengkerama bersama teman dan guru, menggali ilmu dan mencari pengalaman baru untuk bekal masa depan. Aamiin
Kedua, fokus pada unjuk kerja (kinerja) atau produk yang menjadi ukuran dari keberhasilan capaian belajar siswa. Tidak perlu mengontrol ketat pemahaman per sub-bahasan, karena akan cenderung memberi tugas berlebih—dan ini yang rata-rata terjadi di banyak sekolah sekarang. Kalau tujuan pembelajarannya berupa pemahaman, cukup diberikan 1 atau 2 tugas terkait dengan tujuan tersebut. Tujuan pembelaran di sini maksudnya tujuan pembelajaran dalam 1 semester, bukan 1 pertemuan/topik. Tidak perlu rinci. Tinggal guru memastikan pemahamannya tepat dengan eksplorasi tugas tersebut saja.
Ketiga, pegang kompetensi inti (KI) saja, tidak perlu kompetensi dasar (KD). Di semua sekolah yang menjalankan Kurikulum 2013 sekarang yang dipegang adalah KD. Nah, KD ada banyak dan merupakan penjabaran dari KI. Berpegang pada KD akan cenderung memaksa guru untuk memberikan banyak pelajaran secara detail, padahal sejatinya KI yang dituju cukup padat dan ringkas. Nah, KI ini saja yang dipegang hingga nanti pembelajarannya tidak akan “terlalu rinci dan detail” sebagaimana sekarang ketika memegang ketat KD. Dengan berpegang pada KI saja, materi lebih ringkas, pembelajaran dapat dirancang ulang lebih ringkas/sederhana tapi tetap sesuai KI. Akhirnya tugas juga ringkas. Penilaian seperti di point nomor 2, fokus saja pada kinerja dan produk.
Sayang rumusan KI dalam Kurikulum 2013 terlalu abstrak. Hingga guru pasti kesulitan ketika hanya memegang KI sebagai acuan merumuskan pembelajaran. Oleh karena itu, baca ulang KD-KD (lihat di Permendikbud No. 24/2016) sesuai mata pelajaran dan jenjang masing-masing. Buat list/daftar inti-inti kompetensi yang hendak dipakai apa, dan daftar ini jadikan sebagai acuan merancang ulang pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Jika daftar inti-inti kompetensi hasil pembacaan atas KD-KD ini concise betul (ringkas), maka sejatinya inilah KI yang sebetulnya.
Dengan melakukan beberapa tips ringkas di masa darurat pandemi Covid-19 tersebut, maka pembelajaran akan langsung pada intinya saja (karena berpegang pada KI-nya, KI singkatan dari kompetensi inti), tidak terlalu banyak kembangan atau bertele-tele harus mengerjakan tugas yang berseri-seri banyaknya, penilaian juga akan langsung fokus pada menilai kompetensi apa yang hendak dicapai. Pembelajaran yang ringkas, langsung pada intinya (right to the point, to the core competencies), tugas yang langsung ke inti kompetensi apa yang hendak dicapai, akan memudahkan guru, siswa, dan orang tua di saat-saat darurat sekarang ini.
Sejatinya, arah pembelajaran yang langsung to the point (intinya mau bisa apa ini), tanpa melakukan pembelajaran yang bertele-tele dan buang-buang waktu—sementara di keseharian siswa, guru, dan orang tua sedang menghadapi pandemi Covid-19, merupakan pengingat pada hal paling fundamental dalam pendidikan, yakni: tujuan pendidikan, tujuan belajar. Hal ini di era digital sekarang tampaknya mulai disadari dan banyak yang berani melakukan. Misal, mau bisa masak, tinggal ikut kursus masak, jika bisa daring ya ikut daring saja, lebih ringkas, mudah, murah. Tak perlu sekolah tata boga atau kuliah tata boga, yang lama waktunya, bayarnya juga lumayan.
Tujuan inti pendidikan, tujuan inti belajar ini yang harus disadari dan dipegang oleh guru/dosen. Karena akan sangat mencerahkan dan menyadarkan bahwa sejatinya barangkali strategi pembelajaran kita tak perlu bertele-tele dan berseri-seri banyaknya. Ini tantangan bagi sekolah dan kampus formal kita sekarang. Bisakah bertahan di tengah lahirnya pusat-pusat belajar baru dalam bentuk MOOCs (misal Coursera, Alison, EdX, Icourse, Future Learn), komunitas belajar, homeschooling, atau bahkan channel-channel YouTube, instagram, twitter, WA, dan Facebook.
Semoga bencana ini segera berlalu dan generasi penerus bangsa bisa menimkati bangku sekolah kembali. Bercengkerama bersama teman dan guru, menggali ilmu dan mencari pengalaman baru untuk bekal masa depan. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar